Sabtu, 15 Juni 2013

Menelusuri Jejak Peradaban Garut Jawa Barat

         Tahun 1918 Thilly Weissenborn, seorang penjelajah dan fotografer wanita dari Jerman, datang ke Garut Jawa Barat. Dengan kameranya, ia mengabadikan keindahan alam dan kehidupan penduduk di Situ (danau) Cangkuang di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Hasil jepretan Thilly diproduksi menjadi kartu pos yang beredar di Eropa. Sejak itu nama Garut pun mendunia.  Danau alam yang oleh warga setempat dikenal dengan nama Situ Cangkuang itu dikelilingi pegunungan, yaitu Gunung Kaledong, Haruman, Pasir Kedaleman, Pasir Gadung, Guntur, Malang, dan Gunung Mandalawangi. Begitu banyak....Perpaduan danau dan gunung inilah obyek lukisan alam yang tidak pernah habis diabadikan para fotografer dunia. Situ Cangkuang merupakan tempat penting bagi masyarakat Garut. Di sebuah pulau yang berada di tengah danau, yakni Pulau Ageung, terdapat permukiman rumah adat Kampung Pulo yang sudah ada sejak abad XVII. Kampung tersebut menjadi saksi bahwa masyarakat Sunda, terutama yang bermukim di Garut, sebenarnya menganut budaya matrilineal seperti masyarakat Minangkabau.
           ”Masyarakat Sunda baru mengenal budaya patrilineal setelah Islam masuk ke Jawa Barat (Jabar),” kata Franz Limiart, pemerhati sejarah dan penggiat pariwisata di Kabupaten Garut yang memandu 20-an peserta program ”Bentara Jalan Bareng Edisi Garut”. Program ini digagas Bentara Budaya Jakarta (BBJ) selama tiga hari, 10-12 April 2012. Inilah program pertama BBJ untuk kegiatan heritage trail (penjelajahan warisan budaya) di seluruh Indonesia. Program heritage trail terus akan berjalan sepanjang tahun. Bentara Budaya adalah lembaga kebudayaan milik harian Kompas. Lembaga ini berdiri 26 September 1982 dan berfungsi sebagai ruang ekspresi seni dan budaya untuk khazanah seni tradisi dan seni kontemporer Indonesia. Kedudukannya ada di beberapa kota. Di Jakarta, yaitu BBJ, di Yogyakarta Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), di Solo Balai Sudjatmoko Solo (BSS), dan di Bali namanya Bentara Budaya Bali (BBB). ”Program rutin ini kami tawarkan kepada masyarakat— bahkan kami bisa berdiskusi daerah mana yang mereka inginkan—tujuannya untuk mengembangkan pengertian dan wawasan tentang warisan budaya Indonesia yang luar biasa kaya,” kata Manager BBJ Paulina Dinartisti. Ditemani Ika W Burhan, anggota staf BBJ, Franz bercerita lagi.... Luas Situ Cangkuang 24.000 meter persegi. Di danau itu terdapat empat pulau yang dihuni masyarakat, selain Pulau Ageung, yaitu Pulau Alit, Panjang, dan Pulau Masigit. Melalui kegiatan ”Bentara Jalan Bareng Edisi Garut” inilah BBJ mengajak masyarakat pencinta sejarah tradisi dan budaya Indonesia menelusuri jejak peradaban masyarakat Garut. Peserta diajak menelusuri beberapa tempat, seperti situ dan candi Cangkuang, melihat Kirab Budaya Garut, serta sejumlah sentra kerajinan dan industri rumah yang dikelola mandiri oleh masyarakat Garut. Untuk menjejakkan kaki ke Kampung Pulo, kami harus menyusuri jalanan yang cukup sempit menuju Kecamatan Leles. Setelah tiba di tepi danau, beberapa rakit besar dengan kapasitas 20 orang siap mengantar pengunjung menuju Kampung Pulo. Kondisi danau tampak tidak begitu terawat. Di sela-sela bunga teratai yang mekar di pagi hari, danau dipenuhi oleh eceng gondok dan gulma lainnya.
Kampung Pulo
Di Kampung Pulo, jejak budaya matrilineal masyarakat Sunda masih bisa dilihat dari enam rumah adat yang masih tersisa sejak abad XVII.
Rumah tersebut sudah beberapa kali direnovasi, tetapi tetap mempertahankan bentuk aslinya berupa rumah panggung dengan dinding anyaman bambu. Satu dari enam rumah itu masih mempertahankan atap daun aren, sedangkan sisanya sudah bergenteng tanah liat.
Keenam rumah itu merupakan peninggalan Arif Muhammad, prajurit Mataram yang kalah perang melawan kompeni Walanda di yang bercokol di Batavia. Menurut sejarah, Arif Muhammad memiliki satu anak laki-laki dan enam anak perempuan. Ia kemudian membangun masjid sebagai simbol bagi anak laki-lakinya dan enam rumah untuk enam putrinya. Arif kemudian menyebarkan Islam di Garut. Masjid dan gugusan rumah itu masih dalam kondisi terawat yang kini dikenal sebagai Kampung Adat Pulo. Uniknya, rumah tersebut secara turun- temurun menjadi hak milik anak perempuan pada keturunan berikutnya. Bila keturunan selanjutnya tidak memiliki anak perempuan, rumah diserahkan kepada anak perempuan saudaranya. Dedeh (50), salah seorang warga Kampung Adat Pulo, mengatakan, hanya perempuan yang boleh tinggal lama di rumah adat. Sedangkan kaum lelaki biasanya tinggal di luar areal adat setelah menikah. ”Kami juga masih menjunjung pantangan adat, seperti tidak boleh memelihara hewan berkaki empat atau wajib meluangkan waktu lebih sembahyang setiap hari Rabu,” ujarnya. Lokasi rumah adat Kampung Pulo ini tidak jauh dari Candi Cangkuang yang berasal dari abad VIII. Candi ini merupakan candi Hindu yang ditemukan pertama kali oleh arkeolog Uka Tjandrasasmita pada tahun 1966 berbentuk tonggak batu. Candi itu dipugar tahun 1976. Di dalam bangunan candi terdapat patung shiva yang sedang duduk di atas bunga teratai. Penamaan Cangkuang sendiri merujuk pada rumpun pohon cangkuang (Pandanus furcatus) yang tumbuh di sekitar candi. Keberadaan candi di tengah pulau dan kearifan masyarakat tinggal di kawasan yang masih memegang adat, membuat Kampung Pulo kerap dikunjungi wisatawan dalam dan luar negeri. Sejak pemandangan alam Garut mewarnai peredaran kartu pos di Eropa, tahun 1920 pariwisata di Garut mulai dirubung turis asing. ”Tahun 1932, Garut sudah memiliki enam hotel berbintang,” kata Franz. Beberapa bintang film dunia, seperti Charlie Chaplin, pernah datang dua kali mengunjungi Garut, yakni pada tahun 1927 dan tahun 1933. Chaplin bahkan memberikan julukan ”Switzerland van Java” untuk Garut. Hal itu merujuk udara yang sejuk dan banyaknya gunung yang mengelilingi Garut. Kepala Unit Pengelolaan Teknis Daerah Dinas Pariwisata Kecamatan Leles Rana Diana mengatakan, sekitar 1.000 orang tiap minggu datang mengunjungi Candi Cangkuang dan masyarakat adat di sekitarnya. Mayoritas wisatawan lokal, tetapi ada juga turis asing asal Belanda dan Jerman. Juliana (22) dan Soeren (23) adalah sepasang kekasih asal Aachen, Jerman, kepergok-temu di situ. Juliana bilang ia tertarik ke Cangkuang karena letaknya di tengah pulau. ”Itu unik sekali dan tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia. Seumur hidup belum pernah saya melihat candi semacam ini,” kata Juliana. Jadi, Thilly Weissenborn tidak salah memilih Garut. Alam asri dan lorong sejarah silam Garut yang mengejutkan jadi iming-iming wisata sejarah yang tentu digemari siapa pun.
Oleh Lusiana Indriasari dan Cornelius Helmy (copast from kompas.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar